Cogito Ergo Sum “Aku Berfikir maka Aku Ada”
- Categories Kolom
- Date 26 December 2024
Cogito Ergo Sum adalah sebuah ungkapan yang erat kaitanya dengan pengetahuan yang diungkapkan oleh Descartes, sang filsuf ternama dari Prancis. Artinya adalah: “aku berpikir maka aku ada”. Secara luas, ungkapan ini dapat dimaknai bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan orang itu sendiri. Keberadaan ini dapat dibuktikan dengan fakta bahwa seorang manusia mampu berpikir dan menjalankan kehidupannya dengan berbekal pada hasil pikir yang ditelaah dan untuk kemudian dijadikan sebagai suatu sumber pengetahuan.
Sejak kemunculannya, Cogito Ergo Sum telah banyak memberi pengaruh dalam sejarah perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Ungkapan ini tidak hanya mendorong filsuf/ilmuwan untuk berpikir kritis: mempertanyakan segala asumsi dan mencari bukti nyata, tetapi juga menjadi fondasi epistemologi modern: menekankan pentingnya penalaran dan bukti empiris dalam sebuah pencarian kebenaran. Lebih jauh, Cogito juga telah memicu eksplorasi filosofis yang lebih luas: melahirkan berbagai aliran pemikiran/ perspektif.
Melalui Cogito Ergo Sum, seakan Descartes mengajak kepada kita untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Dimana kemampuan inilah yang kemudian menjadi dasar bagi segala pencapaian kita manusia dan pemahaman kita tentang alam semesta.
Islam melalui al-Qur’an mengajak umatnya untuk mengoptimalkan potensi akal yang telah dianugerahkan. Akal – walau punya keterbatasan – adalah sumber pengetahuan dan menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Dengan akal, manusia dapat mencapai derajat yang tinggi sebagaimana yang telah digariskan. Sebagai gambaran, Allah telah mengulang kata al-aql dalam al-Qur’an sebanyak lima puluh kali dan ulul albab berkali-kali. Ini adalah seruan yang jelas agar manusia menggunakan akalnya untuk memahami segala fenomena kehidupan, mengungkap rahasia alam semesta, dan akhirnya, merenungkan kebesaran Allah SWT. Semakin sering sebuah kata diulang dalam al-Qur’an, semakin penting makna yang ingin disampaikan.
Manusia dalam pandangan Islam sejatinya diciptakan dari dua unsur, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani adalah tubuh manusia yang terdiri dari organ dan sistem organ, sedangkan unsur rohani adalah ruh atau jiwa. Jiwa manusia dalam pandangan filsuf Islam terbagi menjadi tiga yang didalamnya terdapat beberapa potensi/daya: Pertama, Jiwa tumbuh-tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah), mempunyai tiga daya yaitu; daya makan, daya tumbuh, dan daya membiak. Kedua, Jiwa binatang (al-nafs al-hayawaniyah), mempunyai dua daya, yaitu; daya penggerak (al-muharrikah) berbentuk nafsu (al-syahwah), amarah (al-ghadlab) dan berbentuk gerak tempat (al-harkah al-makaniyah), dan daya menyerap (al-mudrikah), berbentuk indera lahir (penglihatan, pendengaran, penciuman, dst.) dan indera bathin (indera penggambar, indera pengreka, indera pengingat, dst.) Ketiga, Jiwa manusia (al-nafs al-insaniyah), yang hanya mempunyai daya pikir yang disebut dengan akal. (HM. Zainuddin, 2013). Agar akal dan segala potensi manusia tersebut dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, maka diperlukan pendidikan yang tepat, berkelanjutan dan berkualitas. Oleh karenanya, belajar dan menunut ilmu merupakan kewajiban bagi umat Islam yang harus ditunaikan.
Dalam kaitannya dengan tugas dan tujuan penciptaan manusia, yakni sebagai ‘abdullah (Qs. Adz-Dzariyat: 56), dan juga sebagai khalifatullah (al-Fathir: 39, al-An’am: 165), manusia dibekali Allah akal yang sempurna sebagai instrumen untuk memahami ayat-ayat-Nya, baik yang tertulis dalam wahyu (qauliyyah) maupun yang terhampar luas di alam semesta (kauniyyah). Filsafat, ilmu pengetahuan, dan teknologi lahir dari upaya manusia dalam menggali potensi akal yang telah dianugerahkan Allah. Melalui akal, manusia dapat menggali ilmu pengetahuan yang tak terbatas. Ilmu pengetahuan ini kemudian dapat digunakan untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan dan menjalankan tugas sebagai ‘abdullah dan khalifatullah. Selain akal, manusia juga dibekali Allah Agama (al-Din al-Islam) sebagai petunjuk, melengkapi akal dengan nilai-nilai dan pandangan hidup (Islamic Worldview).
Selain akal, manusia juga memperoleh pengetahuan melalui panca indra, seperti melihat dan mendengar dan juga intuisi/ ilham. Namun, pengetahuan yang diperoleh dari indra harus diolah lebih lanjut oleh akal agar dapat dipahami dan diartikan secara benar. Dengan kata lain, akal berperan sebagai pusat pengolahan informasi dan pengalaman indrawi.
Dari sini dapat kita pahami bersma betapa Islam sangat menghargai akal dan ilmu pengetahuan. Sayidina Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah gerbangnya ilmu berkata: “Tiada kekayaan yang lebih utama daripada akal, tiada keadaan yang lebih menyedihkan daripada kebodohan, dan tiada warisan yang lebih baik daripada pendidikan dan tiada pembantu yang lebih baik daripada musyawarah”.