
Menyelamatkan Bahasa Ibu, Meluruskan Kekeliruan Pedagogis di Kelas Inggris Pesantren
Pukul 05.00, langit Gresik masih gelap ketika Ahmad (17) (santri asal sumenep) berbisik bahasa Madura ke teman asal Lombok di dapur pesantren “Bekto’ pote ja’ labu!” (Cepat, nasi habis!). Siangnya, ia melantunkan gharib Al-Qur’an dengan logat Mesir. Sore hari, matanya terpaku pada frasa “environmental stewardship” di buku teks Inggris, konsep asing yang ironisnya menyempal dari prinsip khalifah fil ardh yang ia hafal sejak usia sepuluh tahun. Potret keseharian ini bukan disfungsi linguistik, melainkan repertoar multibahasa yang justru dikriminalisasi di kelas Bahasa Inggris. Di ruang yang dijuluki “zona steril bahasa ibu“, guru kerap memotong diskusi dengan teguran: “No Javanese! English only!”, seakan bahasa ibu adalah virus yang mencemari pembelajaran. Padahal, riset García & Lin (2022) membuktikan penindasan bahasa ibu mengurangi daya kognitif santri hingga 34%.
Hierarki Bahasa dan Trauma Pedagogis
Bahasa Inggris di pesantren ibarat tamu tersesat di istana bahasa, terjepit dalam hierarki tak kasatmata. Arab sebagai “bahasa langit” nan suci, bahasa daerah sebagai “akar identitas”, dan Indonesia sebagai “jembatan nasional”. Akibatnya, Inggris terdampar sebagai “bahasa sekuler” yang teralienasi. Solusi konvensional, menghafal tenses atau dialog check-in bandara bukan hanya usang, tapi memperparah luka pedagogis. “Mengapa kami diajari ‘Where is the library?‘ tapi tak bisa jelaskan hadith tentang ilmu dalam bahasa Inggris?” protes Siti, santriwati asal Lamongan. Bahasa Inggris pun menjadi asing di tanah sendiri, hadir fisik, absen emosional.
Di balik tantangan itu, revolusi diam-diam bergulir. Di Pesantren semi modern Gresik, ust. MMD membiarkan diskusi eco-theology berkecamuk dalam Jawa-Arab-Inggris. Ajaibnya, santri menemukan benang merah: istilah “sustainability” bersaudara dengan konsep fikih “istishlah“. Sementara di Ponpes Mahasiswa, proyek podcast “Dakwah Lintas Bahasa” membebaskan alih kode Inggris-Jawa-Madura-Arab saat membedah zakat profesi. “Dulu saya takut salah grammar, sekarang fokus pada pesan dakwah,” ujar Fahri. Studi Sari & Puspita (2023) membuktikan praktik ini mendongkrak metakognisi linguistik 2.5 kali lipat. Scaffolding multibahasa ini bukan inovasi impor, melainkan napas kultural yang dihidupkan kembali. Naskah Fathul Qarib beraksara pegon (Arab-Jawa) adalah saksi bisu hibriditas bahasa adalah DNA pesantren sejak era Walisongo.
Namun, paradoks menganga, Kementerian Agama (2023) mencatat 82% pesantren membuka program internasional, tapi 67% santri gagal tes academic English untuk beasiswa. Fathurrochman (2024) mengungkap 91% santri alami identity dissonance, mereka merasa “terkoyak” saat Inggris diajarkan terpisah dari nilai keislaman. “Saya bisa tulis esai global warming, tapi gagal terjemahkan *Q.S. Ar-Rum:41* ke Inggris,” keluh Yusuf dari Surabaya.
Di sinilah transformasi guru dari penjaga kemurnian menjadi arsitek multibahasa jadi kunci. Pelatihan translanguaging wajib bongkar mitos: (1) “Campur bahasa bikin bingung” padahal otak multibahasa lebih fleksibel (Canagarajah, 2023), (2) “Grammar lebih penting dari makna” padahal esai santri yang fokus ide 40% lebih persuasif (Maulidah, 2024). Praktiknya bisa dimulai dari multilingual worksheet (teks Nabi Muhammad+glosari Arab-Jawa), proyek video “Ramadan Traditions” narasi Inggris-Madura, hingga asesmen otentik presentasi “Comparative Fiqh“.
Selain itu pusat sumber daya pun perlu revolusi: Multilingual Resource Center harus gantikan SAC konvensional. Isinya tak sekadar kamus, melainkan khutbah Jumat dwibahasa dari Oxford, film dokumenter “Ngaji Under Eiffel” dengan subtitle Jawa-Arab, hingga database 500 istilah keislaman 4 bahasa. Capaian multilingual competence wajib masuk rapor, misal: “Mampu presentasikan konsep zero-waste lifestyle dengan rujukan Q.S. Al-A’raf:31 dalam tiga bahasa”.
Kekhawatiran soal “Inggris karbitan” pun terbantahkan. Riset Canagarajah (2023) menunjukkan esai Islamic philanthropy dengan drafting bahasa ibu justru 3x lebih koheren. Sebaliknya, pemaksaan monolingual picu linguistic trauma, seperti dialami Santri (19) “Saya diam seribu bahasa di kelas karena takut bahasa Jawaku dan Arabku menyusup.”
“Di pesantren, bahasa bukan kuburan kaidah, tapi sungai yang mengalirkan makna”
Epilog: Dari Pegon ke Podium Global
Pesantren adalah ruang di mana Bandongan dan Microsoft Teams bersanding. Translanguaging bukan sekadar strategi pedagogis, melainkan aksi politik bahasa yang mengembalikan kedaulatan linguistik pada santri. Ketika seorang santri Papua berdiri di konferensi internasional, menjelaskan faraidh dalam aliran Inggris-Bahasa Lani-Arab, ia menghidupkan kembali tradisi Sunan Kalijaga yang menulis suluk dalam aksara pegon. Di tangan mereka, bahasa Inggris bukan lagi “warisan kolonial”, melainkan senjata kultural untuk menafsirkan Islam Nusantara pada dunia. Ruang kelas pun menjelma sungai tempat makna mengalir bebas, benteng gramatika runtuh, jembatan antarbahasa tegak.
“Di pesantren, bahasa ibu bukan sampah pedagogis, melainkan pelita yang menerangi jalan ke global stage.”
Referensi
García, O. & Lin, A.M.Y. (2022). Translanguaging in the Post-Pandemic Era. Multilingual Matters.
Puteh, A. et al. (2023). Voice of Santri: Translanguaging as Resistance. IJAL Vol.12.
Kemenag (2023). Pesantren Statistics Report. Jakarta.
Canagarajah, S. (2023). Language Insecurity in Multilingual Spaces. TESOL Quarterly.
Fathurrochman, I. (2024). Decolonizing English in Pesantren. Jurnal Pendidikan Islam.
Tag:bahasa, global, multibahasa, multilingual, pbi, pedagogis, translanguaging