
Relasi Agama Dan Perilaku Korupsi : Mempertanyakan Kenapa Ajaran Agama Tidak Cukup Kuat Menahan Perilaku Korupsi Umatnya
- Categories Kolom
- Date 20 March 2025
Menjelang puasa Ramadhan 1446 H atau akhir bulan februari 2025 kita dikejutkan dengan berita Kompas,com tentang mega korupsi di PT. Pertamina yang diduga merugikan negara tembus sampai Rp. 968.5 Triliun. berita ini menghentak publik karena nilai kerugian dan pelaku korupnya yang lagi lagi adalah pejabat negara ‘produk pemerintah’ yang diamanahi oleh rakyatnya. rakyat sudah jenuh dengan tontonan korupsi di negeri ini. Negeri ini dikenal dengan tingkat religiusitas yang tinggi, dikenal dengan adat ketimuran yang kental dan perilaku tekun beribadah umat beragamanya. Tidak ada peringatan hari raya idul fitri yang mampu menggerakkan roda ekonomi yang begitu massif di hampir seluruh penjuru negeri kecuali hanya di Indonesia. Ini adalah bukti bagaimana sikap keber-agama-an umat ini mampu memberi pengaruh besar dalam konteks ekonomi suatu negara, ini sekaligus bukti tingkat religiusitas umat negara ini sangat tinggi. namun di sisi lain kenapa umat negara yang religius ini juga hampir tidak pernah sepi dari berita korupsi. Perilaku korup ini dilakukan oleh orang yang berpendidikan tinggi (bergelar sarjana, professor, P.hD.), ada juga tokoh agama (korupsi dana haji, dan lain sebagainya). Sungguh sangat miris, sebenarnya apa yang terjadi dengan perilaku umat beragama ini? satu sisi sangat religious dan sisi lain terkenal perilaku korup.
Dalam banyak hal, agama dianggap sebagai sumber nilai moralitas dan pedoman hidup bagi umat manusia, agama selalu mengajarkan nilai kebaikan, nilai kejujuran dan nilai keadilan. Semua agama besar di dunia baik Islam, Kristen, Hindu, Buddha, maupun Konghucu secara tegas melarang adanya praktik korupsi. Dalam Islam, korupsi masuk dalam kategori perbuatan’ghulul’ (pengkhianatan) dengan ancaman azab besar. Dalam Kristen, Alkitab mengecam ketidakadilan dan penyelewengan kekuasaan. Namun, realitasnya, korupsi masih merajalela di banyak negara dengan tingkat religiusitas yang tinggi. Lalu, di mana letak masalahnya? Mengapa ajaran agama yang begitu kuat ternyata tidak cukup untuk menahan perilaku korupsi umatnya?
Pertanyaan ini penting untuk diajukan, terutama di tengah maraknya kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara, tokoh-tokoh agama atau umat beragama. Kita sering mendengar tentang pejabat yang rajin beribadah tetapi tertangkap tangan melakukan korupsi, atau tokoh agama yang justru terlibat dalam skandal penyelewengan dana. Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan antara ajaran agama dan perilaku nyata.
Agama sebagai Pedoman Moral
Secara teoretis, agama seharusnya menjadi benteng moral yang mampu mencegah perilaku korupsi. Agama mengajarkan nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan, yang seharusnya menjadi panduan bagi umatnya dalam berperilaku. Namun, dalam praktiknya, ajaran agama seringkali tidak diinternalisasi secara mendalam. Agama lebih sering dipahami sebagai ritual formal—seperti shalat, puasa, atau pergi ke gereja—tanpa diiringi dengan pemahaman dan penerapan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain ukurannya hanya kuantitas saja belum menyentuh aspek kualitas beragama. Sehingga, mestinya internalisasi nilai-nilai agama secara mendalam adalah tujuan akhir yang harus dicapai. Sehingga agama sebagai pedoman moral bisa diwujudkan.
Interpretasi Agama yang Bias
Salah satu masalah utama adalah interpretasi ajaran agama yang bias. Tidak jarang, ajaran agama dipelintir untuk membenarkan tindakan korupsi. Misalnya, ada yang menganggap korupsi sebagai “hadiah” atau “bantuan” yang tidak merugikan orang lain. Atau, ada yang berargumen bahwa korupsi adalah bagian dari sistem yang sudah mapan, sehingga sulit dihindari. Interpretasi yang bias ini menunjukkan bahwa pemahaman agama yang dangkal atau selektif dapat melemahkan efektivitas ajaran agama dalam mencegah korupsi.
Pengaruh Lingkungan Sosial-Ekonomi
Faktor lingkungan juga memainkan peran besar. Dalam masyarakat yang korup, tekanan sosial dan struktural seringkali lebih kuat daripada nilai-nilai agama. Misalnya, di lingkungan kerja yang korup, seseorang mungkin merasa terpaksa ikut serta dalam praktik korupsi agar tidak diasingkan atau dipecat. Ketimpangan ekonomi dan sistem politik yang tidak adil juga turut berkontribusi dalam menciptakan budaya korupsi. Dalam situasi seperti ini, agama seringkali kalah oleh tekanan pragmatis untuk bertahan hidup atau meraih keuntungan. Sehingga banyak pilihan jatuh pada bertahan hidup, sehingga perilaku korup terjadi.
Agama dan Kekuasaan
Tidak bisa dipungkiri, agama juga sering dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan. Tokoh-tokoh agama atau lembaga keagamaan terkadang terlibat dalam praktik korupsi untuk mempertahankan pengaruh atau kekayaan mereka. Hal ini tidak hanya merusak citra agama tetapi juga melemahkan kepercayaan umat terhadap ajaran moral yang seharusnya dijunjung tinggi.
Lalu, Apa Solusinya?
Pertama, diperlukan pendidikan agama yang lebih mendalam dan kontekstual. Umat beragama perlu diajak untuk memahami ajaran agama tidak hanya sebagai ritual formal, tetapi sebagai panduan hidup yang mengedepankan kejujuran dan keadilan atau dengan kata lain beragama secara kuantitas dan kualitas.
Kedua, penegakan hukum harus dilakukan secara adil dan tanpa pandang bulu. Agama dan hukum harus saling melengkapi dalam memerangi korupsi.
Ketiga, lingkungan sosial-ekonomi perlu diperbaiki agar tidak menciptakan sistem yang memaksa orang untuk korupsi.
Penutup
Agama memiliki potensi besar untuk mencegah korupsi, tetapi potensi ini tidak akan terwujud jika ajaran agama hanya dipahami secara dangkal atau dipolitisasi untuk kepentingan tertentu. Diperlukan upaya kolektif dari umat beragama, pemangku kebijakan, dan masyarakat luas untuk menjadikan agama sebagai kekuatan yang efektif dalam memerangi korupsi. Jika tidak, agama hanya akan menjadi simbol tanpa makna, sementara korupsi terus merajalela.
Mari kita renungkan: seberapa dalam kita telah menginternalisasi ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari? Atau jangan-jangan, kita juga termasuk orang yang menganggap agama sekadar ritual tanpa makna?
Selamat Beragama !.