Tradisi Kepengarangan Turath Ulama Indonesia dan Mesir
- Categories Kolom
- Date 27 November 2024
Mesir telah lama dikenal sebagai pusat keilmuan Islam yang memainkan peran penting dalam perkembangan tradisi intelektual Islam. Tradisi kepengarangan turats di Mesir tidak hanya melahirkan karya-karya monumental yang menjadi referensi utama dalam dunia Islam, tetapi juga memengaruhi perkembangan intelektual di berbagai belahan dunia, termasuk Nusantara. Sebagai pusat keilmuan Islam, Mesir menjadi tempat berkembangnya berbagai cabang ilmu, mulai dari tafsir, fiqh, ushuluddin, hingga tasawuf, yang terhimpun dalam karya-karya turats yang kaya dengan nilai keilmuan dan spiritualitas.
Pengaruh Mesir terhadap Nusantara terlihat jelas dalam tradisi pesantren, yang menjadikan kitab-kitab turats sebagai kurikulum utama. Para ulama Nusantara yang belajar di Mesir membawa pulang warisan intelektual ini dan mengadaptasinya sesuai dengan konteks lokal. Dengan demikian, dinamika pengarangan turats di Mesir tidak hanya menjadi bagian penting dari sejarah Islam global, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan Islam di Nusantara. Tulisan ini akan mengkaji hubungan antara tradisi turats Mesir dan Nusantara, dengan menyoroti transfer keilmuan, adaptasi lokal, dan relevansinya di era modern.
Mesir memiliki tradisi keilmuan Islam yang panjang, dimulai sejak masa dinasti Fatimiyah hingga era modern. Lembaga Al-Azhar, yang didirikan pada abad ke-10, menjadi salah satu pusat pendidikan Islam tertua dan terkemuka di dunia. Para ulama Mesir seperti Imam Syafi’i, Jalaluddin al-Mahalli, Jalaluddin al-Suyuthi, hingga Imam al-Syathibi meninggalkan jejak intelektual yang mendalam melalui karya-karya mereka. Tradisi penulisan ini berakar pada semangat intelektual yang menekankan penguasaan ilmu secara mendalam dan penyampaian ilmu secara sistematis.
Kitab-kitab karya ulama Mesir mencakup berbagai disiplin ilmu. Misalnya, dalam bidang tafsir, Tafsir al-Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi menjadi salah satu kitab rujukan yang paling banyak dipelajari. Dalam bidang fiqh, kitab al-Minhaj karya Imam Nawawi yang disyarah oleh banyak ulama Mesir menunjukkan kedalaman analisis hukum Islam yang relevan hingga kini. Para ulama Mesir juga mengembangkan metode penulisan seperti syarah (penjelasan), hasyiyah (komentar tambahan), dan mukhtashar (ringkasan), yang menjadi model dalam tradisi intelektual Islam di berbagai wilayah, termasuk Nusantara.
Sejak abad ke-17, Nusantara memiliki hubungan erat dengan pusat-pusat keilmuan di Timur Tengah, termasuk Mesir. Menurut Martin Van Bruninessen (1992), orang Nusantara yang pertama kali belajar di al-Azhar adalah Abdul Manan Dipomenggolono. Ia merupakan pendiri Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur, dan juga kakek dari Syekh Mahfudz Tremas.
Dijelaskan dalam situs resmi Nahdlatul Ulama (NU) Online, KH Abdul Manan Dipomenggolo tinggal di al-Azhar, Mesir, sekitar tahun 1850 M. Ia berguru kepada Ibrahim al-Bajuri, pengarang kitab Umm al-Barahin. Selain KH Abdul Mannan, Imam Nawawi al-Bantani, termasuk deretan ulama yang pernah belajar dan bahkan mengajar di Mesir. Usai menempuh pendidikan di Makkah, Syekh Nawawi al-Bantani meneruskan perjalanan ke Syam dan Mesir. Karena sangat terkenalnya, ia pernah diundang ke al-Azhar, Mesir, untuk menyampaikan ceramah kepada khalayak luas atau memberikan fatwa-fatwa terkait sejumlah perkara. Tidak jelas tahun berapa Syekh Nawawi diundang oleh ahli akademik di Universitas al-Azhar tersebut. Namun, ia diketahui sempat bertemu dengan Syekh Ibrahim al-Baijuri (wafat 1860 Masehi).
Para ulama Nusantara di atas merupakan tokoh yang pernah menimba ilmu di Mesir atau menggunakan kitab-kitab karya ulama Mesir dalam karya mereka. Pengaruh ini tampak jelas dalam tradisi pesantren di Nusantara, yang menjadikan kitab-kitab seperti Tafsir al-Jalalain, Fiqh al-Minhaj, dan al-Hikam sebagai bagian integral dari kurikulum.
Kitab-kitab ini tidak hanya dipelajari secara tekstual, tetapi juga dijadikan landasan dalam pengembangan ilmu-ilmu keagamaan di Pesantren Nusantara. Sebagai contoh, Syekh Nawawi al-Bantani, yang pernah belajar di Al-Azhar, menulis karya seperti Nihayat al-Zain sebagai syarah dari kitab Fath al-Qarib. Karya ini menunjukkan bagaimana tradisi turats Mesir diadaptasi dan dikontekstualisasikan sesuai kebutuhan masyarakat Muslim Nusantara. Jajat Burhanuddin, Mesir menjadi tempat penerbitan sejumlah buku karya Syekh Nawawi. Misalnya, Lubab al-Bayan (1884), Dzari’at Yaqin (1886), Suluk al-Jaddah (1883), dan Sulam al-Munajah (1884).
Selain itu, dalam bidang fiqh, pengaruh mazhab Syafi’i yang dominan di Mesir sangat kuat di Nusantara. Tradisi fiqh di pesantren-pesantren Nusantara sebagian besar didasarkan pada kitab-kitab mazhab Syafi’i, seperti al-Minhaj dan syarah-syarahnya. Tradisi ini menunjukkan adanya kesinambungan intelektual antara Mesir dan Nusantara, yang memperkaya perkembangan keilmuan Islam di kedua wilayah.
Di era modern, turats tetap menjadi sumber penting dalam studi keislaman, baik di Mesir maupun di Nusantara. Karya-karya turats tidak hanya memberikan landasan teoritis yang kuat untuk memahami Islam, tetapi juga menawarkan solusi atas tantangan kontemporer. Sebagai contoh, dalam bidang hukum Islam, karya seperti al-Muwafaqat karya Imam al-Syathibi memberikan panduan dalam memahami maqashid al-syariah (tujuan syariah), yang sangat relevan untuk menjawab isu-isu modern.
Di Nusantara, tradisi ini dilanjutkan dengan cara yang serupa. Kitab-kitab turats digunakan sebagai panduan dalam pengembangan kurikulum pesantren, baik di tingkat dasar maupun lanjutan. Selain itu, ulama-ulama modern di Nusantara juga berupaya mengontekstualisasikan turats untuk menjawab tantangan zaman. Misalnya, digitalisasi kitab kuning dan penerjemahan karya-karya klasik ke dalam bahasa Indonesia mempermudah akses generasi muda terhadap turats.
Namun, relevansi turats juga menghadapi tantangan besar. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana menghubungkan karya-karya klasik ini dengan kebutuhan dan realitas kontemporer. Selain itu, minimnya minat generasi muda terhadap turats, yang sering kali dianggap kuno, menuntut inovasi dalam pendekatan pengajaran dan penyajian turats. Hal ini berlaku baik di Mesir maupun di Nusantara.
Tantangan dalam mengembangkan turats di era modern meliputi kesenjangan antara tradisi intelektual klasik dengan kebutuhan umat Islam saat ini. Karya-karya turats, meskipun kaya akan nilai dan hikmah, sering kali memerlukan interpretasi ulang agar tetap relevan. Tantangan lainnya adalah kurangnya tenaga ahli yang mampu mengkaji turats secara mendalam dan kontekstual.
Namun, di sisi lain, era digital memberikan peluang besar untuk memperluas akses terhadap turats. Digitalisasi manuskrip dan kitab kuning memungkinkan umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Nusantara, untuk mempelajari turats dengan lebih mudah. Selain itu, kolaborasi antara ulama tradisional dan akademisi modern dapat membantu menjembatani tradisi klasik dengan tantangan kontemporer.
Tradisi pengarangan turats di Mesir telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan keilmuan Islam, baik secara global maupun di Nusantara. Melalui transfer ilmu, adaptasi lokal, dan kesinambungan tradisi, karya-karya turats Mesir menjadi bagian integral dari pendidikan Islam di Nusantara. Pengaruh ini tidak hanya terlihat dalam kurikulum pesantren, tetapi juga dalam tradisi penulisan karya-karya lokal yang berakar pada tradisi Mesir.
Di era modern, turats tetap relevan sebagai sumber inspirasi dan panduan dalam menghadapi tantangan intelektual dan spiritual. Untuk menjaga relevansi ini, perlu ada upaya bersama untuk mengembangkan, mengajarkan, dan mengontekstualisasikan turats sesuai dengan kebutuhan zaman. Dengan demikian, turats tidak hanya menjadi warisan intelektual masa lalu, tetapi juga solusi untuk membangun masa depan Islam yang lebih baik.
Tag:dakwah, doktor, magister, pascasarjana, unkafa, ushuluddin